Langsung ke konten utama

Norma Penghitungan dan Penghitungan PPh Akhir Tahun






A.      PENGERTIAN NORMA PENGHITUNGAN
Tidak semua Wajib Pajak tentu memiliki kemampuan untuk membuat pembukuan. Justru pada umumnya, pengusahan kita mayoritas masih pada taraf usaha kecil. Mereka sangat mungkin tidak memiliki kemampuan membuat pembukuan. Selain itu, para profesional yang memiliki praktek profesi sendiri mungkin saja tidak memiliki pembukuan. Nah, bagi mereka yang tidak mau membuat pembukuan, Direktorat Jenderal Pajak telah membuat Norma Penghitungan.
Norma penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto. Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal:
1.    tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
2.    pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak benar.
Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran. Aplikasinya, Norma Penghitungan itu merupakan persentase tertentu untuk mencari penghasilan neto. Wajib Pajak tidak perlu merinci berapa biaya yang telah dikeluarkan untuk mencari penghasilan neto.

B.       NORMA PENGHITUNGAN PPh
a.    Peredaran bruto dan penghasilan neto
a)      Peredaran Bruto
Pengertian Peredaran Bruto bagi Wajib Pajak Badan untuk Tahun Pajak 2014 memiliki dua pengertian, yaitu :
  • Peredaran Bruto berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, adalah sebagai berikut :
Peredaran Bruto adalah  penghasilan atau omset atau penghasilan bruto dari usaha, tidak termasuk :
a.    penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas (khusus untuk Wajib Pajak Orang Pribadi). 
b.    penghasilan selain dari usaha atau penghasilan luar usaha/penghasilan lain-lain.
c.    penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
d.    penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.
e.    penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak penghasilan yang bukan objek pajak penghasilan.   
Peredaran Bruto berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 digunakan untuk perhitungan PPh Badan sebagai berikut.
a.    Peredaran Bruto dengan pengertian tersebut diatas digunakan untuk melihat apakah Peredaran Bruto Tahun Pajak 2013 berjumlah tidak melebihi Rp4.800.000.000,- 
b.    Apabila Peredaran Bruto Tahun Pajak 2013 berjumlah tidak melebihi  Rp4.800.000.000, maka perhitungan PPh Pasal 25 untuk masa pajak Januari sampai dengan Desember 2014 dihitung sebagai PPh Pasal 4 ayat (2) yaitu sebesar 1% dari Peredaran Bruto tersebut diatas dengan Kode Jenis Setoran Pajak  411128-420 (PPh Pasal 4 ayat 2).

  • Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, adalah sebagai berikut.
Peredaran Bruto adalah semua penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, meliputi :
1.    Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan Final.
2.    Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan Tidak Bersifat Final.
3.    Penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan.       
Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU Nomor  36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan digunakan untuk perhitungan PPh Badan sebagai berikut:
Peredaran Bruto berdasarkan Pasal 17 dan 31E UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan Badan yang terutang bagi Wajib Pajak Badan yang tidak termasuk dalam Kriteria PP Nomor 46 Tahun 2013 untuk masa pajak Januari sampai dengan Desember 2014. 

b)   Penghasilan Neto
Norma Penghitungan Neto adalah norma yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak dalam penghitungan penghasilan neto dalam satu tahun pajak sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25/29 terutang.
Wajib Pajak yang diperbolehkan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dalam menghitung penghasilan neto dalam satu tahun untuk penghitungan PPh Pasal 25/29 adalah hanya Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah memenuhi syarat sebagai berikut :
  1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang mempunyai peredaran bruto/omset bruto tidak lebih dari Rp.4.800.000.000,- dalam satu tahun pajak berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang PPh dan PP Nomor 46 Tahun 2013.
  2. Ketentuan tersebut berlaku sejak tahun pajak 2007.
  3. Khusus mulai bulan Juli 2013 penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sesuai dengan PP Nomor 46 Tahun 2013.
  4. Wajib Pajak Orang Pribadi yang bermaksud menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dalam menghitung penghasilan neto wajib memberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak (Kantor Pelayanan Pajak) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak

Jenis pekerjaan bebas yang dalam menghitung Pajak Penghasilan dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (apabila peredaran usaha tidak melebihi Rp4.800.000.000,- dalam satu tahun pajak) adalah sebagai berikut :
  1. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
  2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
  3. olahragawan;
  4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
  5. pengarang, peneliti, dan penerjemah:
  6. agen iklan:
  7. pengawas atau pengelola proyek;
  8. perantara;
  9. petugas penjaja barang dagangan;
  10. agen asuransi; dan
  11. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.

Norma Penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut :
  1. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;
  2. ibukota propinsi lainnya;
  3. daerah lainnya.

Penghitungan Penghasilan Neto Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan bebas, dilakukan terhadap masing-masing jenis usaha dengan memperhatikan pengelompokan wilayah. Penghasilan neto dihitung dengan cara penghasilan bruto/omset bruto dikalikan dengan norma penghitungan penghasilan neto.

b.    Penghitungan khusus bagi wajib pajak tertentu
Untuk menghitung besarnya pajak penghasilan bagi Wajib Pajak tertentu, maka pemerintah menetapkan  Norma Penghitungan Khusus.
Pajak penghasilan bagi Wajib Pajak tertentu tersebut diatur secara khusus dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, sehingga pajak penghasilan yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak Tertentu tersebut sering juga disebut dengan PPh Pasal 15.
Wajib Pajak Tertentu yang menghitung Penghasilan Netonya berdasarkan Norma Penghitungan Khusus, maka pajak penghasilan yang dikenakan terhadap penghasilannya tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1) atau ayat (3) serta Tarif Pajak Pasal 17 dan Pasal 31 E Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan. Akan tetapi Perhitungan Pajak Penghasilannya dihitung berdasarkan tarif pajak penghasilan yang terdapat dalam peraturan yang mengatur besarnya Norma Penghitungan Khusus bagi Wajib Pajak Tertentu tersebut.
Norma Penghitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak Tertentu, antara lain:
·       Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri.
Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri adalah Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri yang melakukan usaha pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan luar negeri dan/atau sebaliknya.
·       Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri.
Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri adalah Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan luar negeri yang melakukan usaha pengangkutan orang dan/atau barang yang dimuat dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia dan/atau dari pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar negeri.
·       Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib PajakPerusahaan Penerbangan Dalam Negeri.
Wajib Pajak Perusahaan Penerbangan Dalam Negeri adalah perusahaan penerbangan yang bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian charter;
·       Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Asuransi Luar Negeri.
Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib PajakPerusahaan Asuransi Luar Negeri diterapkan atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi yang diterima oleh Perusahaan Asuransi Luar Negeri oleh Wajib Pajak Dalam Negeri.
·       Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib PajakPerusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi.
Wajib Pajak Perusahaan pengeboran minyak, gas dan panas bumi dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Norma Penghitungan Khusus atas Penghasilan bruto dari jenis-jenis penghasilan yang tercantum dalam kontrak pengeboran minyak dan gas bumi yang bersangkutan.
·       Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan Dagang Asing yang mempunyai Kantor Perwakilan di Indonesia.
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap semua nilai pengganti atau imbalan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan dagang di Indonesia dari penyerahan barang kepada orang pribadi atau badan yang berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
·       Norma Penghitungan Khusus untuk Wajib Pajak Perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangun-guna-serah  atau BOT (“build, operate, and transfer”).
Bangun Guna Serah atau BOT ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna serah berakhir.

Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut. Pajak Penghasilan yang dikenakan dengan Norma Penghitungan Khusus biasanya bersifat final.

C.      PENGHITUNGAN PPh
a.    Bagi Wajib Pajak Dalam Negeri
Sebagaimana yang termaktub dalam UU No. 36 Tahun 2008,  PPh Pasal 17 menjelaskan secara terperinci tentang tarif yang digunakan untuk menghitung penghasilan kena pajak. Subjek Pajak/Wajib Pajak yang dimasukkan dalam UU ini meliputi Wajib Pajak (WP) orang pribadi dalam negeri dan WP badan dalam negeri/bentuk usaha tetap.
Berikut ini adalah uraian mengenai PPh Pasal 17, penjelasannya, dan penghitungannya.
a)   Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri
Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP)
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp50.000.000
5%
Di atas Rp50.000.000-Rp250.000.000
15%
Di atas Rp250.000.000-Rp 500.000.000
25%
Di atas Rp 500.000.000
30%
Bagi penerima yang tidak memiliki NPWP maka dikenakan tarif PPh 21 sebesar 20% lebih tinggi.

Tarif PTKP dari tahun 2011 ke tahun 2018 akan dijelaskan sebagai berikut.
b.    Tarif PTKP tahun 2001 sampai dengan 2008
Dasar tarif PTKP 2001 adalah UU No. 17 tahun 2000 dan efektif berlaku per tanggal 1 Januari 2001.
PTKP Pria/Wanita Lajang
TK/0
Rp 2.880.000
TK/1
Rp 4.320.000
TK/2
Rp 5.760.000
TK/3
Rp 7.200.000

PTKP Pria Kawin
K/0
Rp 4.320.000
K/1
Rp 5.760.000
K/2
Rp 7.200.000
K/3
Rp 8.640.000

PTKP Suami Istri Digabung
K/1/0
Rp  7.200.000
K/1/1
Rp  8.640.000
K/1/2
Rp10.080.000
K/1/3
Rp11.540.000

c.    Tarif PTKP tahun 2009-2012
Dasar tarif PTKP 2009 sampai dengan 2012 adalah UU No. 36 Tahun 2008 dan mulai berlaku per 1 Januari 2009.
PTKP Pria/Wanita Lajang
TK/0
Rp  15.840.000
TK/1
Rp  17.160.000
TK/2
Rp  18.480.000
TK/3
Rp  19.800.000

PTKP Pria Kawin
K/0
Rp  17.160.000
K/1
Rp  18.480.000
K/2
Rp  19.800.000
K/3
Rp  21.120.000

PTKP Suami Istri Digabung
K/1/0
Rp  33.000.000
K/1/1
Rp  34.320.000
K/1/2
Rp  35.640.000
K/1/3
Rp  36.960.000

d.    Tarif PTKP Tahun 2013—2014
Dasar tarif PTKP 2013 sampai dengan 2014 adalah PMK Nomor 162/PMK.011/2012 dan mulai berlaku per 1 Januari 2013.
PTKP Pria/Wanita Lajang
TK/0
Rp  24.300.000
TK/1
Rp  26.325.000
TK/2
Rp  28.350.000
TK/3
Rp  30.375.000

PTKP Pria Kawin
K/0
Rp  26.325.000
K/1
Rp  28.350.000
K/2
Rp  30.375.000
K/3
Rp  32.400.000

PTKP Suami Istri Digabung
K/1/0
Rp  50.625.000
K/1/1
Rp  52.650.000
K/1/2
Rp  54.675.000
K/1/3
Rp  56.700.000

e.    Tarif PTKP Tahun 2015
Dasar tarif PTKP tahun 2015 adalah PMK Nomor 122/PMK.010/2015 dan efektif berlaku per tanggal 1 Januari 2015.
PTKP Pria/Wanita Lajang
TK/0
Rp  36.000.000
TK/1
Rp  39.000.000
TK/2
Rp  42.000.000
TK/3
Rp  45.000.000

PTKP Pria Kawin
K/0
Rp  39.000.000
K/1
Rp  42.000.000
K/2
Rp  45.000.000
K/3
Rp  48.000.000

PTKP Suami Instri Digabung
K/1/0
Rp  75.000.000
K/1/1
Rp  78.000.000
K/1/2
Rp  81.000.000
K/1/3
Rp  84.000.000

f.     Tarif PTKP Tahun 2016—2018
Dasar tarif PTKP tahun 2016 sampai dengan 2018 adalah PMK No. 101/PMK.010/2016 dan mulai berlaku per 1 Januari 2016.
PTKP Pria/Wanita Lajang
TK/0
Rp  54.000.000
TK/1
Rp  58.500.000
TK/2
Rp  63.000.000
TK/3
Rp  67.500.000

PTKP Pria Kawin
K/0
Rp  58.500.000
K/1
Rp  63.000.000
K/2
Rp  67.500.000
K/3
Rp  72.000.000

PTKP Suami Instri Digabung
K/1/0
Rp112.500.000
K/1/1
Rp117.000.000
K/1/2
Rp121.500.000
K/1/3
Rp126.000.000

b)   WP Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT)
a.    Tarif PPh Badan tahun 2009
Tarif PPh Badan untuk tahun 2009 adalah 28% dari Penghasilan Kena Pajak (PKP). Untuk Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000 (50 milyar) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000.

a.    Tarif PPh Badan tahun 2010
Tarif PPh Badan untuk tahun 2010 adalah 25% dari Penghasilan Kena Pajak (PKP). Bagi WP badan berbentuk Perseroan Terbuka (Tbk atau Go Public), mendapat pengurangan tarif sebesar 5% dari tarif normal atau dengan kata lain mulai Tahun Pajak 2010 tarif WP Badan yang sudah Go Public adalah 20%.  WP badan yang berhak mendapat penurunan tarif PPh ini adalah WP Badan yang sudah go public dengan kriteria sebagai berikut.
a.    Saham diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
b.    Jumlah saham yang dilempar ke publik minimal 40% dari keseluruhan sahan yang disetor dan saham tersebut dimiliki oleh minimal 300 pihak (pemegang saham) baik orang pribadi atau badan; dan
c.    Masing-masinh pihak (pemegang saham) hanya boleh mimiliki saham kurang dari 5% dari keseluruhan saham yang disetor.
Jika salah satu kriteria tersebut tidak terpenuhi, maka WP Badan tersebut harus menggunakan tarif yang ditetapkan, yaitu sebesar 25%.
Untuk Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000 (50 milyar) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000.

b.    Tarif PPh Badan tahun 2013
Untuk tarif PPh Badan tahun 2013 dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu sebagai berikut.
©    Tarif PPh Badan berdasarkan Pasal 17 dan pasal 31E UU No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yaitu sebagai berikut.
a.    Tarif pajak untuk tahun pajak 2013 adalah sebesar 25% dari Penghasilan Kena Pajak.
b.    Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk persekutuan terbuka yang paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan di bursa efek Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya dapat 5% lebih rendah daripada tarif tersebut yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
c.    Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000 (50 milyar) mendapatkan fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif tersebut (25%) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000.
d.    Untuk keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah dalam ribuan rupiah penuh.
e.    Tarif Pajak Pasal 17 dan 31E dikenakan atas penghasilan kena pajak Wajib Pajak Badan yang tidak termasuk dalam kriteria Wajib Pajak Badan yang telah dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 berdasarkan PP 46 Tahun 2013.

©    Tarif Pajak PPh Badan untuk Tahun Pajak 2013 berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah sebagai berikut.
a.    Atas peredaran usaha bruto bulan Juli sampai Desember 2013 dari Wajib Pajak Badan yang mempunyai kriteria tertentu berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2013 dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat 2 sebesar 1% dari peredaran usaha bruto dan bersifat final.

b.    Bagi Wajib Pajak Luar Negeri
Dari UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, bisa disimpulkan bahwa yang menentukan seorang individu atau perusahaan sebagai Wajib Pajak Luar Negeri, yaitu:
  • Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
  • Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Melihat ketentuan di atas khususnya perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia ataupun yang mengoperasikan usahanya melalui BUT di Indonesia bisa dikenakan PPh Pasal 26. 
PPh Pasal 26 mengatur tentang kebijakan tarif sebesar 20% (final) atas jumlah bruto dari pendapatan yang diperoleh dari:
  • Dividen.
  • Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan pembayaran pinjaman.
  • Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan aset.
  • Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
  • Hadiah dan penghargaan.
  • Pensiun dan pembayaran berkala.
  • Premi swap dan transaksi lindung lainnya.
  • Perolehan keuntungan dari penghapusan utang.
Selain pajak atas pendapatan (omset), Wajib Pajak Luar Negeri yang terkena PPh Pasal 26 juga terkena kebijakan tarif pajak dari laba bersih. Tarif 20% (final) dari laba bersih dikenakan bagi yang memiliki penghasilan dari:
  • Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia.
  • Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung ataupun melalui pialang kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Ketentuan tarif 20 % mengikuti kriteria sebagai berikut:
  • Tarif 20% (final) dari laba bersih juga berlaku atas penjualan atau pengalihan saham perusahaan yang didirikan atau bertempat di negara yang memberikan perlindungan pajak, termasuk dalam BUT di Indonesia.
  • Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak termasuk di dalamnya dalam BUT di Indonesia. Tidak berlaku bagi Wajib Pajak yang penghasilannya tersebut ditanamkan kembali di Indonesia.
  • Tax Treaty atau P3B antara Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam perjanjian bisa saja berbeda satu sama lain. Tarifnya biasanya bisa untuk mengurangi tingkat dari tarif biasa yang sebesar 20% dan beberapa mungkin memiliki tarif 0%.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas 3: Administrasi Perpajakan

Kompetensi Dasar : 3.8     Menjelaskan harga perolehan atau harga penjualan harta 3.9     Menjelaskan norma penghitungan dan penghitungan PPh akhir tahun 4.8     Menentukan harga perolehan atau harga penjualan harta dalam rangka menghitung penghasilan 4.9   Menjelaskan norma penghitungan dan penghitungan pajak penghasilan akhir tahun Rincian Tugas: Untuk kompetensi dasar ini ada 2 (dua) tugas yang perlu Anda kerjakan, yaitu: A.   Silakan membuat catatan pada buku catatan Anda materi mengenai : a.        Pada materi KD 3.8 dan 4.8, minimal memuat: 1.     Pengertian harga perolehan dan harga penjualan 2.     Penentuan harga perolehan dan harga penjualan jika terjadi : ·       jual beli harta ·       tukar menukar harta ·       pengambilalihan usaha ·    ...

Harga Perolehan atau Harga Penjualan Harta

A.       HARGA PEROLEHAN DAN HARGA PENJUALAN Dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1994 menjelaskan bahwa pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkuta, biaya pemasangan, biaya asuransi waktu pemasangan, biaya komisi, biaya balik nama dan lain-lain. Dalam jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh, maka bagi pihak pembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga, perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jua...